Cerpen | Aku & Memori

Cerpen | Aku & Memori

Selasa, 27 Oktober 2020, 7:28 AM

 

Aku dan Memori

Penampakan bukit-bukit yang bisa dilihat dari kampungku  nampak agung sore ini. Kabut putih tipis selaras dengan awan putih yang hampir memudar ditepis senja, menutupi puncak-puncaknya.  Semburat warna jingga mulai tampak meski samar. 

Dari kejauhan terlihat burung-burung bersayap  hitam dan keabuan beterbangan dalam kawanan, mungkin mereka ingin kembali ke tempat tinggal mereka, pikirku.

Pemandangan alam yang tampak lebih menakjubkan setiap kali aku menikmatinya bersama aroma kopi hitam pekat yang kuat, kesukaanku sekaligus teman terbaikku ketika sendiri. Ya, sekarang aku lebih suka menyendiri, terasing, hanya aku dan pikiranku sendiri, ketimbang beramai-ramai dengan teman atau saudara.


Pikiranku tiba-tiba  teralih ketika melihat pohon asam, besar, tinggi dan sudah tua di samping rumah, agak ke dalam, berdekatan dengan kandang kuda persis di kebun . Ia seperti menyapaku dengan memutar kembali memori lama 16 tahun yang lalu.


Waktu itu, aku dan teman-teman sebaya beramai-ramai naik ke pohon  itu untuk memetik asam,  kadang-kadang kami saling mengisengi dengan menarik kaki teman yang lain  sampai terjatuh, bahkan sampai menangis karena kesakitan, kami diam lalu saling  memandang  dan yang  terakhir  kami tertawa. Tawa kami mengalahkan suara teriakan teman kami yang menangis.  Itu sangat menyenangkan. 

Aku, Eman, Reni, Enos, Icat dan Meki, berlari menuju hutan kecil tak lama kemudian.


Sepanjang  perjalanan  memulai  petualangan  baru,  kami terus menertawakan  Enos yang  jatuh karena di tarik oleh Eman, dari pohon asam. “ Tadi waktu jatuh mukamu lucu..”  Eman mengejek. Wajah Enos merah padam, antara malu atau marah. “ Bagaimana tidak lucu, celana longgarnya yang lebih dulu di tarik, tidak ada pilihan lain selain ikut menjatuhkan diri ke tanah,daripada malu..” timpal Reni, kami kembali tertawa terbahak-bahak. Enos memaki-maki dengan wajah cemberut dan kesal.

“ Awas kau !!” teriak Enos sambil menatap tajam ke arah Eman.

“ Coba saja kalo berani” Eman menjulurkan lidahnya, membuat Enos semakin kesal.


Ketika sudah berada di dalam hutan, kami mulai sibuk mencari aksesori ala orang hutan yang kami sukai. Eman memakai kantung plastic hitam,di sematkan seperti tas di pundaknya, di tambah kantung plastic kuning di kepalanya yang nampak sangat lucu.

“Aku raja hutan” gayanya menirukan tokoh tarzan yang biasa kami tonton di Global-tv.


Enos membawa botol plastik, setiap sisinya terdapat lubang-lubang sebagai ventilasi udara, biasa kami gunakan untuk mengurung belalang coklat hasil buruan kami. Berburu belalang adalah permainan yang paling kami sukai.


Icat dan Meki membuat tongkat dari batang kayu yang lurus, mereka mengikat kepala mereka dengan tali, nampak seperti pahlawan yang siap berperang, berperang dengan imajinasi mereka. Aku dan Reni terkekeh melihat tingkah mereka.

“ Ayo, les go..” Eman yang menyebut dirinya si raja hutan berperan sebagai pemimpin kawanan. 

Kami tertawa dengan tingkahnya, benar-benar mirip orang hutan, bahasa inggrisnya tidak aneh di telinga kami, kami masih terlalu kecil untuk mempelajari itu, setahu kami, kalimat itu di dengarnya dari Tv.

Kami semua berlari, melompat, saling mengejar dan menakut-nakuti, sesekali bergerombol memburu belalang bersama-sama jika sudah kelihatan.


Belalang yang terkurung dalam penjara Enos, si tukang belalang, sangat ramai ketika hari hampir sore. Kami duduk karena kelelahan, saling menatap dan tertawa . Kadang-kadang beberapa belalang bisa meloloskan diri dari lubang ventilasi botol yang agak besar, kami tertawa terpinggkal-pingkal melihat tingkah Enos yang kerepotan memasukkan mereka kembali ke dalam kurungan. Keceriaan kami tak ada habisnya, hari yang mulai gelap memaksa kami untuk menghentikan petualangan hari itu.

“ Besok setelah makan kita kumpul kembali di sini, ya.” Pinta Eman si raja kawanan

“Siap kapten” jawab kami serentak sambil menuju jalan pulang. Enos agak tertinggal di belakang, seperti biasa, dia masih sibuk dengan tawanannya.

“ sampai jumpa besok anak-anak” ucapnya pada belalang-belalang itu sebelum IA bebaskan. Belalang  yang kami tangkap selalu kami bebaskan setelah waktu bermain selesai, kecuali yang mati karena kehabisan oksigen. Mungkin. Setiap hari, bak episode dalam film yang selalu bersambung, kami bermain bersama, tertawa, menciptakan permainan kami sendiri, jauh berbeda dengan anak-anak seusia kami yang tinggal di kota


Aku tumbuh dalam lingkungan yang sederhana, di kampung yang jauh dari kota, alam adalah sahabat kami. Aku sangat bersyukur, meski pun kami berasal dari kampung, mimpi kami tidak kampungan. Eman baru saja memberi kabar bahwa dirinya lolos tes tentara,setelah 2 kali gagal, Enos mengambil jurusan Farmasi, ia mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Daerah.


Meki dan Icat kuliah sambil bekerja di Bali, Reni sekarang melanjutkan kuliah di Malang, mereka sudah memasuki semester 7. Sedangkan aku, aku sempat menunda kuliah 2 tahun di luar karena keterbatasan biaya, tapi sekarang aku sudah memasuki semester  3, bidang keguruan.


Kami semua selalu berkabar lewat WA dan grup Messenger, kami sudah berjanji sewaktu bermain di hutan dulu, bahwa kami semua harus sukses dan membangun kampung kami bersama-sama suatu hari nanti.


Matahari sudah kembali ke peraduan, hari sudah gelap, aku membungkus kembali memori-memori kenangan bersama para sahabat dan menyimpannya di tempat teraman, di dalam pikiran, dimana usia sekali pun tidak akan mampu mencuri dan menghilangkannya. 


Karya : Marianti Takanjanji

TerPopuler