Oleh: Jacob Ereste
Catatan menarik di tahun 2020 yang perlu dikenang serta direnungkan adalah sikap ugahari Sekretaris Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang menolak ditawari jabatan Wamendikbud (Wakil Menter Pendidikan dan Kebudayaan) yang menolak dengan enteng tanpa banyak cakap. (Kompas.Com, 23 Desember 2020)
Ptof. Dr.Abdul Mu'ti M.Ed usai diskusi di kantor PBNU Jakarta, Jumat (19/5/2017) menyatakan tidak mau bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju yang dimpimpin Presiden Joko Widodo dalam periode kedua pemerinrahannya. Abdul Mu'ti juga sempat digadang -gadang untuk menjabat wakil menteri saat Presiden Jokowi melakukan reshuffle akhir tahun 2020.
"Setelah melalui berbagai pertimbangan, saya putuskan untuk tidak ikut bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju untuk jabatan wakil menteri," kata Abdul Mu'ti enteng dan singkat. Alasan dia sunggguh sederhana dan jelas.
Dirinya merasa tidak mampu mengemban amanah berat di pemerintahan. Ia juga merasa bukan figur yang tepat untuk bertugas sebagai wakil menteri, katanya tanpa panjang lebar berkomentar.
Kisah ugahari Abdul Mu'ti tak sempat hingar bingar menjadi perbincangan di media apapun, termasuk media sosial berbasis internet yang terkenal galak dan agresif dalam pemberitaannya.
Sikap ugahari yang ditunjukkan Abduk Mu'ti bisa jadi terkesan kontraversi, dimana banyak orang sedang tergila-gila oleh jabatan, tanpa perduli cocok atau tidak dalam arti kapasitas ilmu serta pengetahuan yang dimilikinya. Meski begitu, sangat mungkin juga kapasitas Abdul Mu'ti sendiri -- yang pasti akan lebih dia pahami -- justru sebaliknya, karena apa yang ditawarkan itu tidak sepadan dengan ilmu dan pengetahuan serta kemampuan yang dimiliki dirinya. Atau mungkin pula baginya akan lebih banyak berarti dan bisa berbuat banyak dalam jabatan dan pekerjaan yang sedang dipegangnya sekarang.
Artinya, kalau pun secara materi dan penghasilan jabatan Wakil Menteri yang ditawarkan pada dirinya itu telatif lebih besar serta menggiurkan, toh tidak juga dapat meluluhkan sikap ugaharinya yang patut ditauladani oleh banyak orang itu.
Apalagi sekarang, seakan-akan jabatan selevel menteri itu telah menjadi prestise dan kebanggaan tersendiri. Sebab fasilatas maupun prevelise sebagai pejabat negara pun bukan cuma menjamin kepuasan, tapi juga telah jadi kebanggaan serta keunggulan dari pemahaman yang orientasinya keliru dalam masyarakat kita.
Bahkan sungguh tidak sedikit jumlahnya orang yang mau menggadaikan harga dirinya demi dan untuk jabatan tertentu. Termasuk cara meraih jabatan itu pun dengan apa yang semakin populer disebut dengan politik uang.
Sekelumit kisah penolakan Abdul Mu'ti ditawari menduduki jabatan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di negeri kita ini, sungguh patut dicontoh juga sekigus untuk mengingatkan, bila sejatinya jabatan publik itu konsekuensinya harus dan mesti menjalankan amanah rakyat. Karena negara dan pemerintah dibentuk dengan kesepakatan untuk memajukan kesejahteraan umum serta melindungi segenal warga bangsa Indonesia dari segenap bentuk ancaman, termasuk kebodohan dan merosotnya harkat, martabat hingga harga diri yang harus menjadi kepribadian luhur segenap warga bangsa Indonesia agar bisa menjadi warga dunia yang terpandang diantara bangsa-bangsa di dunia.
Sungguh saya kagum serta merasa patut mencatat agar kelak kejadian kecil yang mungkin tidak dianggap penting ini kelak dapat dikenang. Setidaknya pada rentangan tahun 2021 dan seterusnya, jelas masih ada warga bangsa yang tak egois, atau gila jabatan seperti pandemi yang menjangkiti banyak orang Indonesia sekarang, sehingga revolusi moral -- bahkan revolusi etika dan akhkak -- perlu digaungkan lebih keras lagi oleh semua orang.
Begitulah pengaukuan Abdul Mu'ti yang perlu dicatat. "Awalnya, ketika dihubungi oleh Pak Mensesneg dan Mas Mendikbud, saya menyatakan bersedia bergabung jika diberi amanah," ujarnya.
"Tetapi setelah mengukur kemampuan diri, saya berubah pikiran. Semoga ini adalah pilihan yang terbaik," ucap Abdul Mu'ti.
Seusai Presiden melantik Menteri maupu wakilnya, kegaduhan dalam masyarakat pun jadi ramai. Ini mencerminkan jumlah komentar dari berbagai tokoh (agama) maupun pengamat ikut mempertanyakan itu tidak puas -- atau bahkan -- menyangsikan pejabat baru yang diangkat dalam satu paket resufle kabinet Joko Widido pada periode kedua kepemimpinannya tidak tepat mendudukkan orang pada jabatan yang hendak diemban.
Boleh jadi sikap teguh anak petani asal Kudus Jawa Tengah yang bernama lengkap sekarang ini Prof. Dr. Abdul Mu'ti M.Ed sudah dianggap "gila" oleh mereka yang juga gila jabatan.
Meski jabatan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah yang diemban lelaki kelahiran Kudus, 2 September 1968 ini boleh saja merasa menjadi pendidik dan pengurus organisasi Islam yang terbilang besar di negeri ini lebih mulia dari sekedar menjadi wakil menteri.
Profil singkat Abdul Mu'ti yang bersahaja bisa juga ditilik dari pendidikan dasar yang dia tamatkan pada tahun 1986 di kota kelahirannya itu. Gelar S1 dari Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang pada tahun 1991, lalu studi di Flinders University, South Australia pada tahun 1996.
Sejak 1993 menjadi dosen IAIN Walisongo dan tercatat sebafai salah satu Advisor di The British Council London sejak 2006. Meski dia sendiri tercatat sebagai anggota Muhammadiyah bari pada tahun 1994 namun terus moncer hingga menjabat Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhamamdiyah 2005-2010.
Kecualj itu dia juga anggota Dewan Indonesia dan Amerika Serikat pada Agama dan Pluralisme, dan masyarakat eksekutif Konferensi Asia Agama untuk Perdamaian.
Inilah catatan penting menurut saya yang masuk adenda tahun 2020 yang patut dikenang serta menjadi rujukan perenungan agar tahun 2021 dan seterusnya dapat mendatangkan banyak hikmah dan manfaat bagi banyak orang, bukan cuma untuk diri sendiri. Apalagi sekedar ingin memperkaya diri sebatas materi semata.
Putra pertama pasangan petani Djamjadi dan Kartinah ini pun menyandang gelar Guru Besar dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Hingga lengkaplah gelar akademik dia raih hingga bergelar Prof. Dr. Abdul Mu'ti M.Ed.
Benten, 2 Januari 2021