KUTUKAN MARAPU

KUTUKAN MARAPU

Jumat, 26 Februari 2021, 12:43 AM

Oleh: Marianti Takanjanji


Ada seorang gadis bernama Mora, kehidupannya penuh dengan kisah-kisah yang mengharukan. Orang-orang di kampungnya menyebutnya penakluk kematian. Ya, sebutan itu sudah akrab dengan dirinya, warga menjulukinya dengan  nama  itu karena dulu ia terlahir premature, dia lahir diusia kandungan 7 bulan. Beruntung ia masih bisa diselamatkan berkat  kelihaian Ina Doke, dukun beranak di kampungnya yang sangat terkenal. Berbeda dengan teknik melahirkan di rumah sakit atau yang dilakukan oleh dukun beranak pada umumnya, Ina Doke membantu  pasiennya dengan menggunakan teknik  tiup dengan media sebuah botol yang di dalamnya berisi rumuan khusus yang  sebelumnya selalu disiapkan Ina Doke  setiap kali membantu proses persalinan. Ina Doke sangat dipercayai karena ia belum  pernah gagal dalam membantu persalinan baik yang lahir normal ataupun yang lahir  premature, dan Mora adalah salah satu  anak yang selamat dari proses persalinan yang cukup menegangkan itu.


Ketika Mora berumur 2 tahun, ayahnya yang akrab di sapa Ndima sudah 3 hari tidak pulang ke rumah. Ndima bekerja sebagai tukang  bangunan yang membantu Adi membangun rumah anak dari kepala desa tetangga. Biasanya jam 5 sore ia sudah kembali ke rumah. Milla, ibu Mora,  mencoba mencari ke seluruh kampung, bertanya kepada tetangga-tetangga dan teman terdekat berharap ada yang mengetahui keberadaan suaminya. Bayi Mora hanya diberikan bubur jagung yang sudah disimpan khusus untuknya, dan persediaan itupun sudah hampir habis. Dengan gelisah bercampur panik dan sedih, Milla menemui setiap orang dan menanyakan keberadaan suaminya itu. Orang-orang nampak tidak peduli dengan hal tersebut, karena Ndima dianggap sebagai pemabuk yang suka membuat  masalah di kampung itu. Berita kehilangannya justru disyukuri oleh orang-orang di kampungnya. “Paling juga dia di kampung sebelah, ada putar gelas, kasih panas dada supaya tau omong” ,  jawab Diki, tetangga mereka ketika Milla bertanya. Jawaban yang dengan sengaja menusuk dan menyakitkan hati wanita paruh baya itu. Namun ia tidak putus asa, ia tetap meyakinkan diri bahwa suaminya akan  pulang.


Milla tidak sanggup menahan tangisnya, meskipun orang-orang tidak menyukai suaminya itu, Ndima tetaplah suami yang dicintainya, ia yakin bahwa warga hanya berburuk sangka kepada suaminya itu tanpa tau apa penyebab keributan di kampung  yang sering melibatkan Ndima. Ndima hanya korban, batinnya. Tapi apa boleh buat, orang miskin seperti mereka memang sering diperlakukan tidak adil seperti itu. Milla terus berkeliling kampung dan bertanya pada setiap orang yang memang dirasanya bisa memberikan jawaban atau menjawab ibu-ibu yang bertanya kepadanya melihatnya kebingungan. Mora kecil  yang ada dalam gendongan ibunya hanya diam memperhatikan , tidak mengerti.   Hingga malam hampir tiba, waktu berlalu begitu cepat  pikir Milla, bahkan keresahannya mengalahkan rasa laparnya.

 

Milla berjalan kembali ke rumah,  Milla terus meyakinkan diri bahwa Ndima baik-baik saja. Ia berpikir besok masih ada waktu dan harapannya Adi bisa memberi tahu keberadaan Ndima, esok ia kerumah Ady, ia terus bergumam. Waktu menunjukkan jam 8 malam, Mora kecil sudah terlelap diatas tikar lusuh dikamar ibunya. Milla tidak bisa memejamkan matanya, ia terus memikirkan kemana Ndima pergi dan apa yang terjadi dengannya, meskipun ia lelah, ia tetap memaksakan matanya untuk tetap terjaga, telinganya dengan waspada mendengarkan bunyi-bunyi dari luar rumah, berharap suaminya pulang dan mengetuk pintu.  Perasaan gelisah terus menyelimutinya sampai ia jatuh tidur tanpa sengaja.


Mora kecil adalah anugrah terindah bagi pasangan Milla dan Ndima, Mora kecil tidak pernah menangis dikarenakan ia lahir premature. Menurut warga di kampung itu, anak yang lahir tidak menangis adalah anak  yang penurut, mandiri dan kuat.


Keesokan harinya warga dikampung itu dihebohkan dengan berita pembunuhan yang dilakukan empat hari lalu. Warga menemukan mayat  yang lehernya hampir terputus bekas gorokan parang, di pinggir sungai, perbatasan antara kampung itu dengan kampung sebelah. Mayat yang ditemukan itu tidak lain adalah Ndima, suami Milla. Salah satu warga berlari menuju rumah Milla untuk menyampaikan berita tersebut. Milla yang sedang menyuapi Mora kecil sontak terkejut dan jatuh pingsan.


Hari terus berganti, kematian Ndima sama sekali tidak diselidiki. Ndima dikubur bersama ketidakadilan yang menyesakkan dada dan meremukkan hati Milla. Milla terus menangisi kepergian suaminya.


Satu bulan kemudian setelah peristiwa itu, rumah bambu tempat tinggal Milla dan Mora terbakar, gubuk itu hangus tak  bersisa. Beruntung Milla dan Mora selamat.  Warga menduga sumber api berasal dari dapur yang tidak sengaja ditiup oleh angin dan merambat dengan cepat karena atapnya dari alang. Milla tidak dapat membantah hal itu karena memang ia merasa bahwa ia lupa menyiram air pada tungku setelah digunakan. Peristiwa itu membuat Milla semakin tertekan, bahkan sebagian kewarasannya mulai hilang dan pada akhirnya ia ditemukan warga, gantung diri di hutan belakang, tidak jauh dari  bekas rumahnya.


Sepeninggal orang tuanya, Mora dirawat dan dibesarkan oleh Ina Doke, ia tidak tega melihat Mora kecil yang hanya sebatang kara. Ia menyayangi Mora seperti cucu kandungnya sendiri, meskipun ia tidak pernah bersuami dan tidak pernah memiliki anak, namun kasih ibu ditunjukkannya dengan sempurna lewat  potret Mora. Mora yang kini berusia 18 tahun hanya bisa menangis sesegukan, cerita pilu yang baru saja didengarnya dari Ina Doke menyayat hatinya.  Ia juga masih  masih bingung, cerita itu nyata atau hanya hasil karangan wanita di depannya. Tapi Ina Doke terus meyakinkan Mora bahwa itulah kenyataannya. Ina Doke terus meminta maaf karena baru menceritakan hal itu kepada Mora. Ia mengakui bahwa ia tidak ingin melihat Mora bersedih, sehingga ia menyimpan peristiwa itu sebagai rahasia, bahkan ia meminta warga yang akrab dan dekat dengan mereka untuk menjaga rahasia itu hingga Ina Doke sendiri yang mengatakannya kepada Mora pada waktu yang tepat. Peristiwa itu dianggap sebagai sejarah hidup oleh Mora meskipun ia sadar bahwa ia tidak benar-benar yakin dengan cerita itu karena ia-waktu itu, masih terlalu kecil dan belum mengerti apa-apa. Bagi Mora, Ina Doke adalah satu-satunya orang yang ia miliki. Ina Doke juga menceritakan pada Mora bahwa di usia Mora yang ke 5, Mora mengalami penyakit step yaitu kejang yang dipicu oleh demam yang sangat tinggi. Mora berusaha mencerna semua itu dan menguatkan hatinya. Ina Doke terus berkisah, hatinya mulai lega mengungkapkan apa yang selama ini disimpannya.


 “Kenapa semua itu bisa terjadi pada saya, Ina?”, Mora mulai bertanya penasaran Ina Doke menarik napas dalam-dalam, ia terdiam beberapa saat, mengumpulkan serpihahan-serpihan memori peristiwa yang sedikit ia ketahui tentang masa lalu keluarga Mora, kemudian memikirkan kata yang tepat untuk memberikan jawaban, sebuah pengungkapan tepatnya.


“ Setahu ina, semua itu adalah kutukan marapu” jawab Ina Doke. Mora tertegun, ia tidak mengerti apa-apa.


“kutukan marapu?”, Tanya Mora berusaha menggali.


“iya, kutukan yang terjadi karena ada kesalahan dalam ritual adat, atau ada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kedua orang tuamu yang menyebabkan marapu murka. Ingat bahwa dulu orang tuamu adalah penganut marapu, beruntung kamu selamat dari semua kesialan yang terjadi karena Ina sudah membawa kamu ke gereja dan di baptis” jelas Ina Doke.


Mora menatap perempuan yang biasa ia panggil Ina dan memeluknya dengan penuh kasih. “ trima kasih Ina” ucapnya menutup percakapan mereka.


TAMAT

TerPopuler