Sahabat Sebatas Persimpangan Jalan

Sahabat Sebatas Persimpangan Jalan

Minggu, 28 Februari 2021, 12:45 PM

Oleh : Marianti Takanjanji


Keagungan sang pencipta nampak jelas dilihat dari potret-potret alam yang menakjubkan. Panorama hamparan petak-petak sawah yang padinya setengah menguning nampak kontras dengan langit sore ini, semburat warna jingga keemasan, awan setengah gelap yang menggantung di langit, sangat indah. Lengkap dengan suara riuh burung-burung yang hendak pulang ke peraduan, matahari juga perlahan berpamitan dari hadapan. Tuhanku, engkau luar biasa.


Aku memandang dari kejauhan, di atas perbukitan. Bukit nampak sepi kali ini, tidak seperti biasanya, yang ramai dan berisik , tapi aku menyukainya. Menurutku inilah ketenangan yang aku inginkan. Menikmati karya Tuhan sendirian, ya benar-benar sendirian. 


Aku menatap di sekeliling, berharap sesorang  yang aku tunggu-tunggu, datang menemuiku disini, mengeluarkanku dari jebakan situasi yang mencekam, marah, dendam, pilu masih terus mengalir di sekujur tubuhku. Aku merindukan sosoknya, aku mulai menulis kerinduanku pada sebuah diary, tentangnya :


Hanya ditempat ini aku bisa mengenang semuanya, kenangan bersamamu sejak kita saling mengenal dan berjanji pada diri kita sendiri bahwa kita  adalah sahabat sejati sampai mati sebelum semesta akhirnya  memaksaku  berjalan terpisah denganmu.


Aku mengutuki diriku karena tidak menepati janji itu, ku biarkan kau  disana, di tempatmu sekarang, kesepian dan sendirian. Apa kita sahabat sebatas persimpangan? Aku membenci diriku. Dan kau, tetap tidak kembali. 


Aku disini terus menunggu kau datang mengejutkan ku dari belakang. Aku berpura-pura menutup mataku dan berharap ketika aku membukanya , kau ada di depanku walau hanya sekedar menyapa lalu menghilang selamanya.


Dulu ketika aku dipukuli  ibuku dan aku kabur dari rumah, kau masih ingatkan ? Aku berlari ke rumah nenekmu dan menemuimu disana. Kau bilang seharusnya aku bersyukur karena masih punya ibu yang mau merawat dan memarahiku ketika salah, ketimbang dirimu yang tidak ber-ibu juga tidak ber-Ayah.


Kau bilang seharusnya aku tetap di rumah dan mendengarkan omelan ibu daripada kabur dari rumah dan membuatnya khawatir. Kau bilang seharusnya aku tidak selemah itu, anak lelaki tidak boleh lemah. Kau melarangku menangis padahal anak seumuran kita masih pantas untuk menangis. 


Aku mendengarkanmu, dan aku pulang. Kau selalu menguatkanku dan membandingkan kehidupanmu dengan kehidupanku yang sebenarnya jauh lebih baik. Aku suka mengeluh tapi kau tidak, aku selalu mendengarkanmu. Meskipun kita belum begitu mengenal dunia luar yang lebih keras dari dugaanku. Tapi kenapa kau sendiri lemah. Kau pergi tanpa pamit padaku, tanpa berjanji untuk kembali.


Kau melarangku menangis tapi sekarang kau tega , kau jadi satu-satunya alasan aku menangis sekarang.. kau lihat aku kan? Masih berpura-pura sembunyi dariku? Aku sudah berusaha menahan air mata ini, tapi aku tidak kuasa. Setiap kata yang sering ucapkan kala menguatkan aku kini menjelma menjadi silet tajam yang merobek hatiku.


Kata-katamu tidak lagi sekuat rinduku padamu, kau pulang ?

Apa kita hanya sahabat sebatas persimpangan..?

2 bulan yang lalu, awal dari kahancuranku…

Seperti biasanya, usai sarapan, aku selalu bersemangat menyiapkan buku dan pena  kemudian berlari kecil ke rumah Tio, sahabatku. Dia adalah orang yang selalu menjadi tempat pelarianku setiap kali aku merasa sedih karena nilai rendah atau karena dimarahi ibu.


Sesekali aku berlari kecil agar cepat sampai disana. Rumahnya sedikit jauh dari rumahku, Tio tinggal bersama neneknya sejak kecil. Ibunya meninggal usai persalinannya, sedangkan ayahnya, yang dulu terkenal pemabuk tidak pernah lagi kembali ke rumah itu hingga usia Tio yang sekarang  hampir 11 tahun.


Aku tiba di depan rumah Tio. Aku terkejut sekaligus bingung dengan keadaan rumahnya yang tidak seperti biasanya. Di sana banyak sekali orang, ada pula suara tangis. Aku berdiri sejenak, perasaanku mengatakan ada sesuatu yang sedang terjadi, tapi aku sendiri bingung apa itu. Aku bertanya-tanya mengapa orang banyak menangis, nenek meninggal ? batinku.


Tanpa aba-aba, aku langsung berlari mengitar rumah, melewati jendela kamar Tio sambil memangil namanya, tidak ada jawaban. Aku bergegas menuju pintu belakang karena pintu depan sesak dengan warga yang entah sedang menonton apa. Aku bergegas sambil berteriak memanggil-manggil nama Tio.


 “Tio! Tio! Tio!” berulang-ulang aku memanggilnya tapi aku tidak mendengar suaranya. Aku penasaran apa yang sedang terjadi. Sampai akhirnya aku berhasil menembus kerumunan di dalam rumah dan menyaksikan sendiri sahabatku terbujur kaku setengah tertutup kain Kombu (kain khas Sumba Timur).


Aku tidak percaya dengan apa saja yang baru aku lihat di depan mataku, sahabatku pergi tanpa pamit. Air mataku keluar tanpa aba-aba, kepalaku berat dipenuhi dengan canda tawa bersama Tio. Kata-kata bijaknya mengitari kepalaku hingga akhirnya aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. 


Isak tangis kini ku tanggung sendirian. Bukit tempat aku duduk sekarang adalah tempat dimana aku biasa bermain dengannya, menangkap belalang lalu melepasnya.


Aku membencinya karena pergi tanpa pamit. Aku mendendam pada penyakit yang merenggutnya dariku secara tiba-tiba. Kenapa harus dia ?


“ dia demam tinggi sampai akhirnya tidak bersuara, dan ternyata ia pergi selamanya” kata nenek yang sama hancurnya denganku karena kepergian Tio, cucu satu-satunya dan sahabat terbaikku.


Apa kita hanya sahabat sebatas persimpangan? Yang akan aku kenang dengan pahit seumur hidupku...


Tambolaka, 27 Februari 2021

TerPopuler