Oleh: Jacob Ereste
Pernyataan Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi berkilah bahwa impor beras itu katanya adalah bagian dari strategi agar tidak diatur oleh spekulan berniat buruk. Alasan Muhamad Lufti ini sungguh terkesan jadi konyol. Karena dari logika cara berpikir dalan sudut pandang dari manapun, strategi yang dungu ini, justru akan semakin mempermalukan diri, dibanding dengan cara berterus terang saja mengakui kekeliruan yang terlanjur jadi pilihan salah itu.
Sebab dari logika seperti apapun, strategi untuk mengatasi para spekulan tidak bisa dilakukan dengan cara mengimpor beras saat petani sedang panen raya.
Dalam bilangan surplus jutaan ton beras hasil dari panen raya para petani Indonesia ini, menjadi sangat aneh bila logika Menteri Perdagangan Muhamad Lufti hanya berdalih dengan satu juta ton beras bisa membuat para spekulan tidak berkutik. Hanya dengan mengimpor satu juta ton beras. Padahal beras hasil panen petani seluruhnya tidak kurang dari 17 juta ton, hingga surplus.
Jadi alasan ngotot untuk tetap terus mengimpor satu juta ton beras pada saat petani sedang panen raya dan bisa surplus hasil panenannya, hanya akal yang tak waras yang dapat menerima alasan yang dungu seperti itu. Atau ada birahi rente agar bisa mendapat komisi dari proses impor yang sangat terkesan begitu dipaksakan ini.
Hingga pada akhirnya, seorang kawan merasa perlu untuk dapat menghitung, berapa nilai besarannya bila untuk per kilogram beras itu misalnya bisa mendapat komisi senilai Rp. 1000 saja. Maka untuk jatah sebesar Rp 1.000 per kilogram itu, cukuplah bagi pemulus impor beras ini dapat komisi sebesar satu juta ton beras impor yang masuk ke Indonesia ini minimal nilai yang didapat adalah Rp 1.000 X 1.000.000 ton X 1.000 kg = Rp 1.000.000.000.000 (seribu miliar alias satu triliun). Jadi semangat berdagang dari Menteri Perdagangan Indonesia yang percaya untuk mengatasi para tengkulak atau spekulan pada saat petani kita panen raya dan surplus, sungguh hanya ada dalam akal orang yang sakit. Sebab logikanya tak seperti itu adanya. Sebab akal yang sakit itu, bukan cuma amat sangat berbahaya bagi petani, tetapi juga bagi segenap warga bangsa Indonesia yang dipaksa bersikap dan melakukan pilihan seperti itu jelas bisa diartikan sikap khianat pada bangsa dan negara.
Sebab upaya untuk melindungi kaum petani yang diabaikan itu bukan sikap nasionalisme sejati. Karena sebutannya yang pantas adalah sikap nasionalisme gadungan.
Jadi birahi berdagang dari Menteri Perdagangan -- yang cuma diorientasikan semata untuk mendapat untu ng -- tak ada bobot dari idealisme untuk membangun masyarakat petani agar dapat menjadi soko guru bangsa -- jadi tak ada cahaya yang terkesan dalam benak dagang yang cuma mencari keuntungan materialistis yang menjadi ciri kapitalisme yang tulen itu.
Jakarta, Maret 2021