Cium Hidung Orang Sumba di Tengah Pandemi, Perlukah Kita Merawat Harapan?

Cium Hidung Orang Sumba di Tengah Pandemi, Perlukah Kita Merawat Harapan?

Sabtu, 03 Oktober 2020, 9:10 AM

Pandemi COVID-19 menjadi cerita menakutkan bagi penduduk bumi sejak munculnya pada akhir 2019 lalu di Wuhan, China. Umat manusia berkabung lantaran pandemi ini terus memakan korban dari hari ke hari. Sebagai manusia kita tentu mengalami rasa duka, sedih dan takut.


Tetapi selalu ada hal positif di balik krisis. Kita melihat solidaritas sosial dan kepedulian tumbuh di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Setiap orang berusaha untuk saling menjaga, membantu dan bergerak bersama-sama dengan melupakan perbedaan agama, suku atau ras.


Timbulnya rasa solidaritas sosial dan kepedulian terhadap sesama dalam menghadapi pandemi ini adalah masa bangkitnya rasa kemanusiaan, persaudaraan dan persatuan universal. Karena itu kita pantas berharap dan terus merawat harapan itu hingga kita bisa menjadi pemenang atas krisis kehidupan.


Kita juga melihat keteladanan luar biasa yang ditunjukkan oleh mereka-mereka yang terlibat langsung di garis depan seperti

para dokter, perawat, pemerintah, relawan, dan komunitas-komunitas kemanusiaan lainnya. Dari mereka kita belajar soal pengorbanan dan keberanian untuk tetap melayani meski banyak hal yang harus dikorbankan.


Cerita keteladanan demikian tentu bukan baru muncul di saat ini. Sejarah berkisah banyak tentang keteladanan para tokoh-tokoh hebat di masa lalu. Dalam konteks adat sumba masih banyak masyarakat sumba yang beranggapan bahwa COVID 19 hanya sebuah permainan, bagaimana tidak; dalam kehidupannya sehari-hari saya sering melihat kebiasaan orang sumba yang menjadi budaya orang sumba masih sering dilakukan ketika berjumpa dengan keluarga, seperti cium hidung yang menjadi ciri khas orang sumba dalam setiap perjumpaan. 


Disini sebagai penulis saya mengajak seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat sumba mari kita berikan telandan yang baik untuk membantu pemerintah dalam memutuskan mata rantai penyebaran COVID 19 di muka bumi ini,  sehingga kita benar-benar terlepas dari keterpurukan dunia. Kalau bukan kita yang menjadi pemenang, lalu siapa lagi? Apakah kita hanya berdoa dan berharap kepada Tuhan tanpa kita melakukan apa yang menjadi harapan kita?


Sebagai Contoh keteladanan disini mari kita sama-sama belajar lari dari keterpurukan sehingga kita benar-benar menikmati hidup hanya bersifat sementara di muka bumi ini. Salah satu contoh yang perlu kita teladani ialah mati raga, mengapa mati raga? Mati raga yang dimaksud bukan berarti mati secara fisik, tetapi memperteguh hati dengan menahan keinginan atau nafsu kita akan hal-hal duniawi. Mati raga merupakan perbuatan menyangkal hal-hal yang disukai oleh kodrat kita. Dengan mati raga, kita berusaha untuk menahan keinginan duniawi dan lebih mendekatkan diri ke Tuhan.


Bentuk mati raga yang dapat kita lakukan selama masa pandemi ini adalah menahan diri untuk tidak bepergian, bertemu teman-teman, atau mengunjungi tempat-tempat umum. Kita ikut berperan dalam mengurangi angka penyebaran virus COVID-19 di Indonesia. Kita tentu merasa tidak nyaman saat kita harus menahan rasa rindu dengan orang-orang terdekat kita, tetapi demi alasan kesehatan dan keselamatan bersama, kita perlu menahan diri.


Bagaimana pendapat teman-teman?./YT

TerPopuler